Rabu, 04 April 2018

“TRANSFUSI DARAH SERTA HUBUNGAN DONOR DARAH DENGAN RESIPEN MENURUT HUKUM ISLAM”


“TRANSFUSI DARAH SERTA HUBUNGAN DONOR DARAH DENGAN RESIPEN MENURUT HUKUM ISLAM”

Abstrak
Transfusi darah merupakan salah satu bagian penting pelayanan kesehatan modern. Bila digunakan dengan benar, transfusi dapat menyelamatkan jiwa pasien dan meningkatkan derajat kesehatan. Indikasi tepat transfusi darah dan komponen darah adalah untuk mengatasi kondisi yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas bermakna yang tidak dapat diatasi dengan cara lain. WHO Global Database on Blood Safety melaporkan bahwa 20% populasi dunia berada di negara maju dan sebanyak 80% telah memakai darah donor yang aman, sedangkan 80% populasi dunia yang berada di negara berkembang hanya 20% memakai darah donor yang aman.

Kata kunci     : Tranfusi Darah, Donor Darah, Resipen, Hukum Islam, 
                           Pandangan Tokoh, Risiko.

A.  Pendahuluan
Tranfusi darah, ialah kegiatan sosial yang dimana mentransfer darah seorang manusia kepada manusia lain untuk tujuan tertentu.  Tranfusi darah ialah penginjeksian darah seseorang (disebut pendonor) ke dalam sistem peredaran darah orang lain (resipen).[1]sejarah singkatnya, awal mula ini dilakukan oleh oarang inggris dalam penelitianya ia mentranferkan darah seekor anjing pada anjing lain, kemudian 2 tahun berikutnya baptiste denis, seorang dokter, filsuf, dan astronomi mentransferkan darah kambing yang pertama kali pada manusia hasilnya menjadi bencana anak itu mati dan ia dikenai tuduhan pembunuhan. Kemudian Tahun 1818 Dr Jame Blundell dari rumah sakit St. Thomas and guy berhasil melakukan tranfusi darah pertama pada manusia, ia berhasil melakukanya setelah ia menemukan alat transfusi darah secara langsung dan ia mengingatkan bahwa hanya darah manusia yang dapat di transfusi kepada manusia. Kemudian dari situ ilmuwan menemukan jenis – jenis darah, akar penemuan ini diawali dengan permasalahan penggumpalan darah ketika selesai transfusi berangkat dari itu akhirnya pentransfusian darah disesuaikan dengan golongan darah manusia masing – masing yang kita ketahui ada 4 golongan yaitu : O, A, B, AB. Kemudian berkembang hingga saat ini dan menjadi urusan yang bermashlahat besar bagi keselamatan jiwa seseorang.[2]
Risiko transfusi darah sebagai akibat langsung dari transfusi merupakan bagian situasi klinis yang kompleks. Jika suatu operasi dinyatakan potensial menyelamatkan nyawa hanya bila didukung dengan transfusi darah, maka keuntungan dilakukannya transfusi jauh lebih tinggi daripada risikonya. Sebaliknya, transfusi yang dilakukan pasca bedah pada pasien yang stabil hanya memberikan sedikit keuntungan klinis atau sama sekali tidak menguntungkan. Dalam hal ini, risiko akibat transfusi yang didapat mungkin tidak sesuai dengan keuntungannya. Risiko transfusi darah ini dapat dibedakan atas reaksi cepat, reaksi lambat, penularan penyakit infeksi dan risiko transfusi masif.
a.    Reaksi akut
Reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya warna kemerahan di kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku otot.  Reaksi sedang – berat disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat,demam akibat reaksi transfusi non-hemolitik atau kata lainya yaitu kelainan antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit, kontaminasi pirogen atau bakteri.
Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri pada dada, nyeri di sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri pada punggung, nyeri pada kepala, dan dispenea. Terdapat pula tanda - tanda kaku otot, demam, lemah.
b.     Reaksi Lambat
Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan gejala dan tanda demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik lambat yang berat dan mengancam nyawa disertai syok, gagal ginjal dan DIC
jarang terjadi. Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium antibodi sel darah merah dalam plasma pasien dan pemilihan sel darah kompatibel dengan antibodi tersebut. Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi potensial membahayakan pada transfusi sel darah merah atau trombosit.
Hal ini disebabkan adanya antibodi langsung yang melawan antigen spesifik trombosit pada resipien. Lebih banyak terjadi pada wanita. Gejala dan tanda yang timbul adalah perdarahan dan adanya trombositopenia berat akut 5-10 hari setelah transfusi . Penatalaksanaan penting terutama pada perdarahan yang tidak terlihat dengan hitung trombosit. Pencegahan dilakukan dengan memberikan trombosit yang kompatibel dengan antibodi pasien. Kelebihan besi pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka waktu panjang akan mengalami akumulasi besi dalam tubuhnya (hemosiderosis). Biasanya ditandai dengan gagal organ (jantung dan hati). Tidak ada mekanisme fsiologis untuk menghilangkan kelebihan besi. Obat pengikat besi seperti desferioksamin, diberikan untuk meminimalkan akumulasi besi dan mempertahankan kadar serum feritin <2.000 mg/l.[3]
c.    Penularan Infeksi
Risiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung pada berbagai hal, antara lain prevalensi penyakit di masyarakat, keefektifan skrining yang digunakan, status imun resipien dan jumlah donor tiap unit darah. Saat ini dipergunakan model matematis untuk menghitung risiko transfusi darah, antara lain untuk penularan HIV, virus hepatitis C, hepatitis B dan virus human T-cell lymphotropic (HTLV).[4] Model ini berdasarkan fakta bahwa penularan penyakit terutama timbul pada saat window period (periode segera setelah infeksi dimana darah donor sudahinfeksius tetapi hasil skrining masih negatif).
1)      Transmisi HIV
Penularan HIV melalui transfusi darah pertama kali diketahui pada akhir tahun 1982 dan awal 1983. Pada tahun 1983 Public Health Service (Amerika Serikat) merekomendasikan orang yang berisiko tinggi terinfeksi HIV untuk tidak menyumbangkan darah. Bank darah juga mulai menanyakan kepada donor mengenai berbagai perilaku berisiko tinggi, bahkan sebelum skrining antibodi HIV dilaksanakan, hal tersebut ternyata telah mampu mengurangi jumlah infeksi HIV yang ditularkan melalui transfusi. Berdasarkan laporan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) selama 5 tahun pengamatan, hanya mendapatkan 5 kasus HIV/tahun yang menular melalui transfusi setelah dilakukannya skrining antibodi HIV pada pertengahan maret 1985 dibandingkan dengan 714 kasus pada 1984.
2)      Penularan virus hepatitis B dan virus hepatitis C
Penggunaan skrining antigen permukaan hepatitis B pada tahun 1975 menyebabkan penurunan infeksi hepatitis B yang ditularkan melalui transfusi, sehingga saat ini hanya terdapat 10% yang menderita hepatitis pasca transfusi. Makin meluasnya vaksinasi hepatitis B diharapkan mampu lebih menurunkan angka penularan virus hepatitis B. Meskipun penyakit akut timbul pada 35% orang yang terinfeksi, tetapi hanya 1-10% yang menjadi kronik. Transmisi infeksi virus hepatitis non-A non-B sangat berkurang setelah penemuan virus hepatitis C dan dilakukannya skrining anti-HCV. Risiko penularan hepatitis C melalui transfusi darah adalah 1:103.000 transfusi. Infeksi virus hepatitis C penting karena adanya fakta bahwa 85% yang terinfeksi akan menjadi kronik, 20% menjadi sirosis dan 1-5% menjadi karsinoma hepatoselular. Mortalitas akibat sirosis dan karsinoma hepatoselular adalah 14,5% dalam kurun waktu 21-28 tahun.22 Prevalensi hepatitis B di Indonesia adalah 3-17% dan hepatitis C 3,4% sehingga perlu dilakukan skrining hepatitis B dan C yang cukup adekuat.
3)      Kontaminasi bakteri
Kontaminasi bakteri mempengaruhi 0,4% konsentrat sel darah merah dan 1-2% konsentrat trombosit.1 Kontaminasi bakteri pada darah donor dapat timbul sebagai hasil paparan terhadap bakteri kulit pada saat pengambilan darah, kontaminasi alat dan manipulasi darah oleh staf bank darah atau staf rumah sakit pada saat pelaksanaan transfusi atau bakteremia pada donor saat pengambilan darah yang tidak diketahui. Jumlah kontaminasi bakteri meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan sel darah merah atau plasma sebelum transfusi. Penyimpanan pada suhu kamar meningkatkan pertumbuhan hampir semua bakteri. Beberapa organisme, seperti Pseudomonas tumbuh pada suhu 2-6°C dan dapat bertahan hidup atau berproliferasi dalam sel darah merah yang disimpan, sedangkan Yersinia dapat berproliferasi bila disimpan pada suhu 4°C.
4)      Staflokok
Tumbuh dalam kondisi yang lebih hangat dan berproliferasi dalam konsentrat trombosit pada suhu 20-40°C. Oleh karena itu risiko meningkat sesuai dengan lamanya penyimpanan.1,22 Gejala klinis akibat kontaminasi bakteri pada sel darah merah timbul pada 1: 1 juta unit transfusi. Risiko kematian akibat sepsis bakteri timbul pada 1:9 juta unit transfusi sel darah merah. Di Amerika Serikat selama tahun 1986-1991, kontaminasi bakteri pada komponen darah sebanyak 16%; 28% di antaranya berhubungan dengan transfusi sel darah merah. Risiko kontaminasi bakteri tidak berkurang dengan penggunaan transfusi darah autolog. [5]
5)      Kontaminasi parasit
Kontaminasi parasit dapat timbul hanya jika donor menderita parasitemia pada saat pengumpulan darah. Kriteria seleksi donor berdasarkan riwayat bepergian terakhir, tempat tinggal terdahulu, dan daerah endemik, sangat mengurangi kemungkinan pengumpulan darah dari orang yang mungkin menularkan malaria, penyakit Chagas atau leismaniasis.
d.   Transfusi Darah Masif
Transfusi masif adalah penggantian sejumlah darah yang hilang atau lebih banyak dari total volume darah pasien dalam waktu <24 jam (dewasa: 70 ml/kg, anak/ bayi: 80-90 ml/kg). Morbiditas dan mortalitas cenderung meningkat pada beberapa pasien, bukan disebabkan oleh banyaknya volume darah yang ditransfusikan, tetapi karena trauma awal, kerusakan jaringan dan organ akibat perdarahan dan hipovolemia. Seringkali penyebab dasar dan risiko akibat perdarahan mayor yang menyebabkan komplikasi, dibandingkan dengan transfusi itu sendiri. Namun, transfusi masif juga dapat meningkatkan risiko
komplikasi berupa :
1)   Hiperkalemia
Penyimpanan darah menyebabkan konsentrasi kalium ekstraselular meningkat, dan akan semakin meningkat bila semakin lama disimpan.
Hipokalsemia terutama bila disertai dengan hipotermia dan asidosis dapat menyebabkan penurunan curah jantung (cardiac output), bradikardia dan disritmia lainnya. Proses metabolisme sitrat menjadi bikarbonat biasanya berlangsung cepat, oleh karena itu tidak perlu menetralisir kelebihan asam. Kekurangan fbrinogen dan faktor koagulasi Plasma dapat kehilangan faktor koagulasi secara progresif selama penyimpanan, terutama faktor V dan VIII, kecuali bila disimpan pada suhu -25°C atau lebih rendah.
Pengenceran (dilusi) faktor koagulasi dan trombosit terjadi pada transfusi masif. [6]
2)   Kekurangan trombosit
Fungsi trombosit cepat menurun selama penyimpanan darah lengkap dan trombosit tidak berfungsi lagi setelah disimpan 24 jam.
3)   DIC
DIC dapat terjadi selama transfusi masif, walaupun hal ini lebih disebabkan alasan dasar dilakukannya transfusi (syok hipovolemik, trauma, komplikasi obstetrik). Terapi ditujukan untuk penyebab dasarnya.
4)   Hipotermia
Pemberian cepat transfusi masif yang langsung berasal dari pendingin menyebabkan penurunan suhu tubuh yang bermakna. Bila terjadi hipotermia, berikan perawatan selama berlangsungnya transfusi.
5)   Mikroagregat
Sel darah putih dan trombosit dapat beragregasi dalam darah lengkap yang disimpan membentuk mikroagregat. Selama transfusi, terutama transfusi masif, mikroagregat ini menyebabkan embolus paru dan sindrom distress pernapasan. Penggunaan buffy coat-depleted packed red cell akan menurunkan kejadian sindrom tersebut[7]

Kegiatan donor darah ini sangat menarik dimana masih menjadi polemik terkadang mengenai kebolehanya dan dampak akan hasilnya maka dari itu penulis memilih topik ini sebagai bahasan penelitian masail fiqhiyah khusunya untuk mengetahui hukum islam sendiri apakah membolehkan atau melarangnya.

B.       Kronologi Kasus
Ada seorang wanita yang melahirkan dipuskesmas kemudian ia kehilangan banyak darahnya, sedangkan disaat itu tidak terdapat seorang keluargapun, sedangkan suaminya mempunyai golongan darah yang berlainan, maka dari itu ada seorang perawat yang bergolongan darah sama maka ia mendonorkan darahnya kepada ibu itu. Dari kasus itu maka ditarik dugaan , apakah hukum islam memperbolehkan jika bukan mahramnya, bahkan apakah boleh jika berlainan agama?. Begitu pula pada kronologi lain yaitu dari segi kesehatan darah yang akan mendonorkan darahnya, yang ditakutkan akan membuat mafsadah akan darah yang didonorkan bila di pendonor itu tidak sehat dan didalam darahnya terdapat penyakit – penyakit.
C.  Perspektif Hukum Islam
Tranfusi darah ialah memindahkan darah dari seseorang kepada orang lain untuk menyelamatkan jiwanya. [8] Tranfusi darah biasa diberikan ketika terjadinya kecelakaan ataupun orang yang kekurangan darah yaitu ketika orang melahirkan anak, kecelakaan, anemia berat.
Al-Qur’an dan hadits tidak membahas masalah transfusi darah ini tetapi, menurut prinsip umum, terdapat sumber – sumber orisinil islam, yaitu darah yang mengalir (dam masfuh) maka dari itu fuqaha terjadi banyak polemik dalam kalangan fuqaha, antara lain :
1.    Tanggapan seorang Alm. Mufti Syafi’
Menurut pandangan Alm. Mufti Syafi’ dari pakistan, dalam kondisi biasa transfusi darah merupakan suatu kondisi yang haram, karena darah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tubuh manusia, dan termasuk benda najis
a.       darah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tubuh manusia
darah merupakan bagian tubuh manusia yang tak terpisahkan maka pengambilan transfusinya ke dalam distem peredaran darah orang lain bisa disamakan dengan upaya mengubah takdir manusia karena itu dilarang.
b.      Darah sebagai benda najis
Darah yang diambil dari manusia ialah najis, dalam kitab al-umm karya imam Syafi’i mengatakan :
“Jika seseorang memasukan darah kedalam kulitnya dan darah itu berkembang, maka darah itu wajib dikeluarkan dan orang itu wajib mengganti shalat yang ia lakukan setelah memasukan darah tersebut. “
c.       Kelenturan peraturan hukum
Dengan mempertimbangkan kelonggaran dan kemudahan maka diberikan syari’at bagi kondisi yang mengancam nyawa dan dalam upaya pengobatan maka hukumnya boleh.[9]
2.    Ketentuan ushul fiqh
Penerimaan sumbangan darah tidak disyaria’tkan oleh agama atau kepercayaan, bangsa, suku dan sebagainya, karena menyumbangkan darah merupakan amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan oleh islam sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia sesuai dengan firman Allah  dalam Surat Al – Maidah ayat 32 :
و من أ حيا ها فكأ نّمآ احيا النّا س جمعا....(الما ئد ة : ٢٣)
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah – olah ia memelihara kehidupan manusia seluruhnya.”
 Adapun dalil syar’i yang bisa menjadi pegangan ialah pada kaidah hukum fiqh islam yang berbunyi :
الاصل في الا شيا ء الا ابا حة حتّي يد لّ الدّ ليل علي تحر ميها
“Bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh hukumnya, kecuali ada dalil yang mengharamkanya.”

Jadi, hukumnya boleh saja baik untuk muslim dan non muslim, demi untuk menolong dan memuliakan harkat martabat manusia. Sebab Allah Khalik semesta  termasuk manusia berkenan memuliakan manusia. Adapun dalil yang mendasari ialah pada kaidah hukum fiqh yaitu segala sesuatu itu prinsipnya boleh hukumnya kecuali ada dalil yang mengharamkanya. Sedangkan tidak ada dalil nash Al-Qur’an dan Al-Hadits yang melarangnya secara eksplisit, maka dari itu diperbolehkan bahkan dinilai ibadah jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan-Nya dengan jalan menolong jiwa sesama manusia.[10]
Namun dalam memperoleh mashlahat dan menanggulangi mafsadah, baik pendonor maupun penerima harus dilakukan setelah melalui pemeriksaan kesehatan darah yang teliti  dan darah dari pendonor harus benar – benar bersih dari penyakit – penyakit menular seperti AIDS. AIDS merupakan penyakit yang belum ditemukan obatnya hingga saat ini menurut fakta penelitian, bahwa AIDS ini dapat menular melalui transfusi darah, suntikan narkoba, suntikan tato, free sex, dan terutama homoseksual. Maka harus ada prosedur dalam penanganan medisnya ketika akan mengambil darah pendonor, sesuai dengan kaidah – kaidah hukum islam, seperti :
a.    Bahaya harus dihindari.
b.    Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang lain (yang lebih besar bahanya) maka tidak si resipen tidak boleh menerima darah dari orang lain yang menderita penyakit menular, walaupun ia sangat memerlukan.
c.    Tidak boleh membuat mudarat, kepada dirinya sendiri dan tidak pula membuat mudarat kepada orang lain. Misalnya seorang pria impoten terkena AIDS  ia tidak boleh kawin sebelum sembuh. Karena apabila ia kawin maka akan menyelakai dirinya dan menyelakai orang lain.
Prosedur medis itu ialah :
a.       Pendonor harus sehat dan tidak dalam kondisi sakit ketika mendonorkan darahnya
b.      Pendonor harus steril dari makanan berlemak ketika mau mendonorkan darahnya.
c.       Umur pendonor sesuai dengan ketentuan usia donor
d.      Kadar hemoglobin 12,5 g atau lebih
e.       Tekanan darah pendonor 120/ 140/80 – 100mmHg
f.       Nadi 50-100 per menit
g.      Bukan pecandu alkohol
h.      Bukan pecandu narkoba
i.        Tidak mendapat imunisasi 2/4 bulan terakhir
j.        Bila makan aspirin dalam 3 hari terakhir maka beritahulah petugas
k.      Bagi donor tetap, penyumbangan maksimal 5 kali setahun
l.        Tidak menerima transfusi darah 6 bulan terakhir
m.    Tidak berpenyakit jantung, hati, liver, ginjal, kencing manis, penyakit kulit, dll yang menular dan membahayakan.[11]


3.    Hubungan antara pendonor dan resipen
Transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman antara pendonor dan resipien. Sebab faktor – faktor kemahraman sudah ditentukan oleh islam dan Al- Qur’an Surah An-Nisa ayat 23 – 24, maka diterangkan bahwa :
a.       Mahram karena adanya hubungan nasab, misal hubungan ayah dengan ibunya atau saudara sekandung sebapak / seibu, dan sebagainya
b.      Mahram karena adanya hubungan perkawinan
c.       Mahram karena adanya hubungan persusuan.

Maka jelaslah transfusi darah itu walau ada lelaki mentransferkan darahnya kepada wanita bukan mahramnya tidak ada hubungan kemahraman, walaupun darahnya tercampur, karena jelas dalam islam kemahraman telah tersebut dalam Surah An- Nisa ayat 23-24.[12]

D.  Pandangan Tokoh Masyarakat
1.    Pak Kholil
Pak kholil ialah seorang guru akidah & akhlak di MAN Pekalongan, beliau memberikan tanggapan bahwa donor darah ini baik dan boleh hukumnya, karena untuk menolong sesama manusia dan merupakan pertolongan yang sangat berguna, dilihat dengan segi hukum fiqhnyapun boleh karena tidak ada larangan nash dan tidak membuat madarat pada pendonor, bahkan beliau sendiri ialah seorang pendonor yang rutin di madrasah tempat beliau mengajar.
Jika dilihat dari kasus – kasus penggumpalan darah beliau menceritakan bahwa, itu termasuk kasus pada alat di rumah sakit yang tidak steril, karena harusnya steril dan tidak merugikan pendonor, juga bisa ia adalah pendonor baru, karena ia adalah pendonor baru, dan juga berpengaruh pada pendonor baru itu apakah ia sudah sarapan belum? Tensinya bagaimana? Dan golongan darahnya, hb nya apakah memenuhi standart? Itulah yang berpengaruh pada kasus penggumpalan – penggumpalan darah. Efek dari donor darah menurut beliau ialah sugesti saja, padahal pada kenyataanya ialah tidak.
E.  Kesimpulan
Tranfusi darah, ialah kegiatan sosial yang dimana mentransfer darah seorang manusia kepada manusia lain untuk tujuan tertentu.  Tranfusi darah ialah penginjeksian darah seseorang (disebut pendonor) ke dalam sistem peredaran darah orang lain (resipen)
Dalam proses pendonoran juga tidak sembarangan diambil yang darahnya sehat dan tidak mempunyai penyakit menular. Dengan mempertimbangkan kelonggaran dan kemudahan maka diberikan syari’at bagi kondisi yang mengancam nyawa dan dalam upaya pengobatan maka hukumnya boleh. Dan berdasar ketentuan ushul fiqh penerimaan sumbangan darah tidak disyaria’tkan oleh agama atau kepercayaan, bangsa, suku dan sebagainya, karena menyumbangkan darah merupakan amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan oleh islam sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia sesuai dengan firman Allah  dalam Surat Al – Maidah ayat 32 :
و من أ حيا ها فكأ نّمآ احيا النّا س جمعا....(الما ئد ة : ٢٣)
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah – olah ia memelihara kehidupan manusia seluruhnya.”
       Adapun dalil syar’i yang bisa menjadi pegangan ialah pada kaidah hukum fiqh islam yang berbunyi :
الاصل في الا شيا ء الا ابا حة حتّي يد لّ الدّ ليل علي تحر ميها
“Bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh hukumnya, kecuali ada dalil yang mengharamkanya.”

Sedangkan tidak ada dalil nash Al-Qur’an dan Al-Hadits yang melarangnya secara eksplisit, maka dari itu diperbolehkan bahkan dinilai ibadah jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan-Nya dengan jalan menolong jiwa sesama manusia
 Maka dari paparan itu donor darah dalam islam diperbolehkan jika alasanya itu untuk menolong jiwa seseorang, dalam asas saling tolong menolong dan menyelamatkan kehidupan seseorang serta memuliakan manusia dimana Allah Sang Khalik semesta pun memuliakan manusia dan menyayangi hamba-Nya, dan termasuk amal shalih yang berpahala besar.

F.   Penutup
Dalam penulisan essay ini terdapat banyak kesalahan dan tutur bahasa yang kurang tepat, maka penulis haturkan permintaan kritik dan saran sehingga kedepan menjadi lebih baik lagi, semoga dengan essay ini menjadi penambah wawasan serta bermanfaat bagi para pembaca.

G. Biodata Penulis
1.    Nama                      : Ainun Najib
2.    NIM                       : 2021116346
3.    Fakultas                  : Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan
4.    Jurusan                   : Pendidikan Agama Islam
5.    Peguruan Tinggi     : Institusi Agama Islam Negeri Pekalongan
6.    Alamat                    : Griya Pringgosari No.39 Rt. 03 Rw. 09 Kel.Kalibaros
                                  Kec. Pekalongan Timur

H.  Daftar Sumber
Majfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, 1997 ( Jakarta ; PT Toko Gunung Agung)

Ebrahim Mohsin, A. F., “Kloning, Euthanasia, Transfusi Darah, Transplantasi Organ, Dan Eksperimen Pada Hewan Telaah Fikih Dan Bioetika Islam”, 2004 (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta)
Eka Pradinata – PupuPuspita, “Transfusi Darah”Volume 1, No. 3 Juli 2001,


[1] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : PT Toko Gunung Agung, 1997) Hlm. 49
[2] Eka Pradinata – PupuPuspita “Transfusi Darah” Volume 1, No. 3 Juli 2001,, Hlm. 92.
[3] Ibid,Eka Pradinata – Pupu Puspita, Hlm. 93.
[4] Ibid,Eka Pradinata – Pupu Puspita, Hlm. 93.
[5] Ibid,Eka Pradinata – Pupu Puspita, Hlm. 93.
[6] Ibid,Eka Pradinata – Pupu Puspita,Hlm. 94
[7] Ibid,Eka Pradinata – Pupu Puspita, Hlm. 94
[8] Majfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, ( Jakarta ; PT Toko Gunung Agung, 1997) Hlm. 49.
[9] Ebrahim Mohsin, A. F., “Kloning, Euthanasia, Transfusi Darah, Transplantasi Organ, Dan Eksperimen Pada Hewan Telaah Fikih Dan Bioetika Islam”, (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2004) Hlm. 60-61.
[10] Ibid, Masjfuk Zuhdi, Hlm. 50.
[12] Ibid, Masjfuk Zuhdi ,Hlm. 52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar